PDM Kabupaten Sinjai - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Sinjai
.: Home > Artikel

Homepage

PERAN ULAMA DALAM INSTITUSI PENDIDIKAN

.: Home > Artikel > PDM
22 April 2012 12:52 WIB
Dibaca: 7509
Penulis : khair syurkati

PERAN ULAMA DALAM INSTITUSI PENDIDIKAN

Oleh: Alif Sayyidul Qadr

 

I. PENDAHULUAN

   Seperti yang kita ketahui bersama bahwa ulama menempati posisi sangat penting di masyarakat. Karena memiliki otoritas tidak hanya di bidang keagamaan, sosial, politik tetapi juga pendidikan. Lembaga pendidikan eperti kuttab, masjid, madrasah dan lain-lain adalah sumbangsih ulama. Melalui lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan dan kitab-kitab yang ditulisnya, ulama bertindak sebagai penerjemah doktrin-doktrin islam yang otoritatif, dan sekaligus sebagai jembatan dari proses transmisi nialai-nilai keagamaan, khususnya yang melalui pendidikan.

               Dalam Islam, ulama memiliki beberapa peran sosial keagamaan. Pertama, sebagai guru yang mengajarkan cara membaca al-Quran dan ajaran Islam. Kedua, sebagai penafsir ayat al-Quran untuk menjawab beberapa hal dalam masyarakat, dan sebagai hakim yang memutuskan perkara jika ada perselisihan di antara kaum muslimin. Dan yang ketiga, seagai mubaligh yang berdakwah untuk meyebarluaskan ajaran Islam.

Ulama sebagai ahli waris para nabi, memiliki fungsi dan tanggung jawab yang cukup berat. Salah satu di antara fungsi ulama adalah membimbing dan membina umat Islam. Dengan fungsi itu, ulama wajib mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada seluruh masyarakat yang membutuhkannya.

Untuk mengajarkan ilmu yang dimilikinya, ulama paling tidak melaksanakan dua aktivitas yakni :

Pertama, menyampaikan dakwah atau penyuluhan agama kepada seluruh masyarakat Islam yang ada di sekitarnya melalui khutbah dan ceramah di mesjid-mesjid, atau melalui media massa.

Kedua, mendirikan sebuah pesantren untuk mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada para santri.[1]

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh seorang atau beberapa ulama, mengakibatkan peran ulama sangat fenomenal dan signifikan dalam kesinambungan atau eksistensi sebuah pesantren. Karenanya, segala sesuatu yang berlaku dalam pesantren tersebut, sangat tergantung pada sistem leadership ulama yang bersangkutan.[2]

Pola kepemimpinan pesantren seperti ini telah mendapat sorotan dari berbagai pakar pendidikan dan ilmu ke-Islaman. Nurcholish Madjid misalnya, menganggap pola seperti itu tidak demokratis, feodal, dan sukar tunduk pada manajemen modern.[3] Akibatnya, sistem pendidikan dan manajemen pesantren tidak mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lain di era informasi dan globalisasi dewasa ini.

 


II. FUNGSI DAN PERAN ULAMA

 

A.    Pengertian Ulama

Dari segi etimologis, kata ulama (علماء ) adalah bentuk plural dari kata عالم  , yang artinya orang-orang yang mengerti, orang yang berilmu, atau orang yang berpengetahuan.[4]Dengan pengertian ini, ulama adalah para ilmuan, baik di bidang agama, humaniora, sosial, dan kealaman.

Dalam perkembangannya kemudian, pengertian ini menyempit dan hanya dipergunakan oleh ahli agama.[5] Karenanya, secara terminologis, ulama berarti orang yang ahli dalam hal atau pengetahuan agama Islam.[6] Dengan pengertian ini, maka yang dimaksud dengan ulama adalah khusus orang yang mendalam ilmunya tentang agama Islam dengan segala cabangnya, seperti tafsir, hadis, fikih, tauhid, na¥wu, ¡araf, dan bal±gah.

Sebenarnya, jika analisis dilakukan secara obyektif, makna secara terminologis di atas kurang tepat, sebab jauh meleset dari makna etimologisnya. Pemaknaan dalam arti khusus, dapat saja digunakan jika kata ulama tersebut terangkai dengan kata lain, seperti ulama nahwu, ulama fikih, ulama tafsir, ulama hadis, dan sebagainya. Akan tetapi, jika kata ulama tersebut berdiri sendiri, maka maknanya harus dikembalikan kepada arti etimologisnya, yakni orang-orang yang berilmu pengetahuan.

Namun, dalam kajian makalah ini, ulama yang dimaksudkan adalah dalam pengertiannya secara terminologis, yaitu orang-orang yang memiliki keahlian di bidang ilmu agama Islam.


 

B.    Ulama Sebagai Ahli Waris Nabi

Dalam salah satu ungkapan yang sering disebut-sebut sebagai hadis Nabi Muhammad saw., dapat ditemukan ungkapan populer yang berbunyi: العلماء ورثة الأنبياء  (para ulama itu adalah ahli waris nabi-nabi).[7]

Jika ungkapan ini dilacak sumbernya, ternyata tak satu pun kitab hadis standar (al-kutub al-tis’ah) yang memuatnya.[8] Ungkapan ini hanya ditemukan pada buku-buku atau kitab-kitab yang bukan kitab hadis standar. Karenanya, autentisitas ungkapan ini sebagai hadis Nabi, memungkinkan untuk dikritisi.

Kritik terhadap autentisitas ungkapan ini sebagai hadis Nabi semakin kuat, jika pandangan diarahkan pada mukharrij-nya, yaituرواه ابن النجار (HR Ibn al-Najj±r).[9] Dalam kajian ‘ul­m al-¥ad³£, otoritas Ibn al-Najj±r tidak mendapat pengakuan sebagai mukharrij hadis.

Terlepas dari «a’³f (lemah) atau maw«­’ (tertolak)-nya ungkapan tersebut sebagai hadis Nabi, ternyata ungkapan tersebut sudah menjadi masyh­r dan mendapat tempat di hati masyarakat Islam. Karenanya, tidaklah salah jika ungkapan tersebut perlu dikomentari lebih lanjut.

Sebagaimana halnya nabi-nabi lain, Nabi Muhammad ketika wafat, tidaklah meninggalkan kerajaan atau harta benda yang akan diwariskan kepada umatnya. Yang beliau tinggalkan hanyalah agama Allah yang harus dipelihara, ditegakkan, dan dibela kepentingannya.[10]

Dengan demikian, ulama sebagai orang yang memiliki keahlian di bidang ilmu agama Islam, ia perlu mewarisi ilmu dan meneruskan langkah perjuangan Nabi Muhammad. Segala tingkah laku dan perbuatan ulama tersebut tidak boleh keluar dari ketentuan yang terdapat dalam Alquran dan Hadis Nabi.[11] Konsekuensi dari kedudukannya sebagai ahli waris Nabi Muhammad, maka fungsi dan tanggung jawab ulama sangat berat.

 

C.    Fungsi dan Tanggung Jawab Ulama di Tengah Masyarakat

Dalam hubungannya sebagai ahli waris para nabi, ulama mempunyai fungsi dan tanggung jawab sebagai berikut:

1.    Sebagai penyiar agama Islam. Dengan fungsi ini, ulama berkewajiban menyampaikan amar ma’r­f dan nahy munkar kepada segenap umat manusia. Ilmu agama yang dimilikinya, wajib diajarkan kepada isteri, anak, dan seluruh masyarakat Islam;

2.    Sebagai pemimpin rohani. Dengan fungsi ini, ulama wajib memimpin dan membimbing umat Islam dalam bidang rohani, misalnya dalam bidang akidah, syariah, dan akhlak;

3.    Sebagai pengemban amanat Tuhan. Dengan fungsi ini, ulama wajib memelihara amanat Tuhan. Dalam arti bahwa ulama bertanggung jawab memelihara agama dari kerusakannya, menjaga agama agar tidak dikotori oleh manusia, serta menunaikan segala perintah Tuhan;

4.    Sebagai penegak kebenaran. Dengan fungsi ini, ulama yang lebih mengetahui ajaran Islam, seharusnya menjadi pelopor dalam menegakkan kebenaran. Jika ada ulama yang menegakkan fungsinya ini, maka dia sendiri yang terlebih dahulu hancur, baru kemudian menyusul kehancuran dan kebinasaan umat Islam.[12]

 

III. INSTITUSI PENDIDIKAN ISLAM

 

A. Pengertian Institusi Pendidikan Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, institusi mempunyai beberapa arti, yaitu: (1) pelembagaan atau pranata; (2) sesuatu yang dilembagakan oleh undang-undang, adat, atau kebiasaan; (3) gedung atau tempat diselenggarakannya kegiatan perkumpulan dan organisasi.[13] Namun, yang dimaksudkan dalam kajian makalah ini adalah institusi dalam pengertiannya sebagai lembaga yang didirikan oleh pemerintah atau yayasan tertentu.

Paraahli berbeda dalam memberikan definisi tentang pendidikan Islam. M. Arifin misalnya, mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.[14]

Hasan Langgulung, sebagaimana dikutip oleh Azyumadi Azra mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi perasaan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.[15]

Jika diperhatikan kedua definisi di atas, dapat tersimpul pada definisi yang dikemukakan oleh Zakiah Daradjat yang mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian muslim.[16]

Berdasar pada pengertian institusi dan beberapa definisi pendidikan Islam di atas, maka yang dimaksud dengan institusi pendidikan Islam dalam kajian makalah ini adalah sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah atau pihak swasta, yang bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang berkepribadian muslim.

 

B. Lembaga-lembaga Kependidikan Islam

Pendidikan Islam, secara kelembagaan, tampak dalam berbagai bentuk yang bervariasi. Di samping lembaga yang bersifat umum, terdapat lembaga-lembaga lain yang mencerminkan kekhasan orientasinya.

  Dalam sejarah Islam ditemukan bahwa sekitar abad IV H, terdapat beberapa corak pendidikan, yaitu sistem pendidikan yang bercorak teologi, tasawuf, filsafat, dan fikih. Institusi yang dipakai oleh masing-masing corak pendidikan tersebut, dapat digambarkan sebagai berikut:

1.    Yang bercorak filsafat menggunakan lembaga pendidikan yang diberi nama D±r al-¦ikmah, al-Muntadiyah, ¦aw±n³t, dan Warr±qi’³n;

2.    Yang bercorak tasawuf menggunakan lembaga pendidikan yang bernama al-Zan±y±, al-Rib±t, al-Mas±jid, dan Khalaqat al-ªikr;

3.    Yang bercorak teologi menggunakan lembaga pendidikan yang bernama al-Mas±jid, al-Maktabat, ¦aw±n³t, al-Warr±q³n, dan al-Muntadiyah;

4.    Yang bercorak fikih menggunakan lembaga pendidikan yang bernama al-Kat±t³b, al-Mad±ris, dan al-Mas±jid.[17]

 Masing-masing corak pendidikan di atas memiliki institusi yang khusus, meski pada umumnya memanfaatkan mesjid. Kondisi ini berlangsung sampai pada tahun 495 H, khususnya setelah Ni§±m al-Mulk mendirikan madrasah. Dengan demikian, madrasah merupakan institusi pendidikan yang dianggap sebagai tonggak baru dalam penyelenggaraan pendidikan Islam.[18]

Dalam perspektif ke-Indonesiaan, institusi pendidikan Islam telah berkembang dengan pesat, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Institusi ini meliputi semua jenjang pendidikan, mulai dari Taman Kanak-kanak (TK) sampai ke Perguruan Tinggi (Universitas).

Untuk tingkat TK dikenal dua istilah, yaitu Rau«at al-A¯f±l dan Bust±n al-A¯f±l. Untuk tingkat selanjutnya dikenal dengan madrasah yang terdiri atas tiga jenjang, yaitu Madrasah Ibtidaiyah yang setingkat dengan SD, Madrasah Tsanawiyah yang setingkat dengan SLTP, dan Madrasah Aliyah yang setingkat dengan SMU. Di samping madrasah, dikenal juga lembaga pendidikan Pondok Pesantren. Khusus pada jenjang pendidikan tinggi, dikenal dengan istilah al-Jami’ah.

 


IV. POSISI ULAMA DI TENGAH MODERNISASI PESANTREN

 

A.    Pengertian Pondok Pesantren

Kata pondok berasal dari bahasa Arab فندوق yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal sederhana.[19] Istilah ini telah dikenal di Jawa dan Madura sebelum tahun 60-an, yaitu tempat tinggal yang dibuat dari bambu.[20] Dengan demikian, pondok yang dimaksudkan di sini adalah asrama tempat tinggal santri, yang pada umumnya terbuat dari bambu.

Adapun kata pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awal pe dan akhiran an, yang berarti tempat tinggal para santri.[21] Tempat tinggal di sini bukan hanya dalam arti tempat tinggal menginap, tetapi sekaligus tempat menimba ilmu oleh para santri dari gurunya.

Dari pengertian pondok pesantren di atas, mengindikasikan bahwa Pondok Pesantren lahir dari budaya Indonesia. Karenanya, secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna ke-Islaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia.

 

B.    Posisi Ulama di Pondok Pesantren

Pada pesantren terdiri atas lima pokok elemen, yaitu ulama, santri, mesjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab klasik.[22] Kelima elemen tersebut merupakan ciri khas yang dimiliki oleh pesantren, sekaligus membedakannya dengan lembaga pendidikan dalam bentuk lain. Meski kelima elemen ini saling menunjang eksistensi sebuah pesantren, namun ulama memainkan peran yang begitu sentral di dalamnya.[23]

Keberadaan seorang ulama dalam lingkungan sebuah pesantren, laksana jantung bagi kehidupan manusia. Intensitas ulama memperlihatkan peran yang otoriter, disebabkan karena ulamalah sebagai perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin, dan bahkan sebagai pemilik tunggal. Karenanya, dengan alasan ketokohan ulama tersebut, ada sebagian pesantren yang bubar lantaran ditinggal wafat ulamanya.[24]

Sebagai salah satu unsur yang dominan dalam kehidupan sebuah pesantren, ulama mengatur irama perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu, kharismatik, dan keterampilannya. Karenanya, tidak jarang ditemukan sebuah pesantren yang tidak memiliki manajemen pendidikan yang rapi, sebab segala sesuatunya terletak pada kebijaksanaan dan keputusan ulama.[25]

Kewibawaan dan kedalaman ilmu sang ulama, merupakan modal utama bagi berlangsungnya semua wewenang yang dijalankan. Semua santri dan orang-orang yang ada di lingkungan pondok, harus taat kepada ulama. Ia dikenal sebagai tokoh kunci, kata-kata dan keputusannya harus dipegang oleh mereka, terutama oleh para santri. Dalam hal ini, ulama lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mendidik para santrinya daripada aktivitas lainnya.[26]

 

C.    Modernisasi Manajemen Pondok Pesantren

Dewasa ini, terdapat kecenderungan kuat pesantren untuk melakukan konsolidasi organisasi kelembagaan, khususnya pada aspek kepemimpinan dan manajemen. Secara tradisional, kepemimpinan pesantren dipegang oleh satu atau dua orang ulama, yang biasanya merupakan pendiri pesantren yang bersangkutan. Tetapi perkembangan kelembagaan pesantren, terutama karena terjadinya diversifikasi pendidikan yang diselenggarakannya, yang juga mencakup madrasah dan sekolah umum, maka kepemimpinan tunggal ulama tidak memadai lagi. Banyak pesantren sekarang yang mengembangkan kelembagaan yayasan, yang pada dasarnya merupakan kepemimpinan kolektif.[27]

Dalam kaitan ini, Nurcholish Madjid menawarkan empat hal mengenai kepemimpinan pesantren, yaitu:

1.    Pola kepemimpinan kharismatik sudah menunjukkan segi tidak demokratisnya kepemimpinan pesantren. Apalagi jika disertai dengan tindakan yang bertujuan untuk menjaga jarak dan rasa ketinggian dari para santri. Pola kepemimpinan seperti ini akan kehilangan kualitas demokratisnya;

2.    Karena kepemimpinan ulama adalah kharismatik, maka dengan sendirinya juga bersifat pribadi dan personal. Kenyataan itu mengandung implikasi bahwa seorang ulama tidak mungkin digantikan oleh orang lain dan sulit ditundukkan oleh administrasi dan manajemen modern;

3.    Seorang ulama, selain menjadi pemimpin agama, sekaligus merupakan traditional mobility dalam masyarakat feodal. Feodalisme yang berbungkus keagamaan ini bila disalahgunakan, jauh lebih berbahaya dari feodalisme biasa;

4.    Karena dasar kepemimpinan dalam pesantren adalah seperti yang disebutkan di atas, maka dengan sendirinya faktor kecakapan teknis menjadi tidak penting. Kekurangan ini menjadi salah satu sebab tertinggalnya pesantren dari perkembangan zaman.[28]

Apa yang dikemukakan Nurcholish Madjid di atas merupakan cambuk bagi pesantren untuk menata organisasi dan manajemennya, agar mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lain di era modern ini. 

 

 

 


V. PENUTUP

 

Mengacu pada uraian-uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka berikut ini dapat dirumuskan beberapa kesimpulan, yaitu:

1.    Ulama sebagai penerus perjuangan para nabi, memiliki fungsi dan tanggung jawab yang cukup berat. Fungsi dan tanggung jawab yang dimaksud, antara lain sebagai: (a) penyiar agama Islam, (b) pemimpin rohani umat Islam, (c) pengemban amanat Tuhan, dan (d) penegak kebenaran.

2.    Untuk melaksanakan fungsinya tersebut, sebagian ulama ada yang mendirikan pesantren untuk mengajarkan ilmu yang dimilikinya secara formal. Dengan kedudukannya sebagai pendiri sekaligus sebagai pemilik pesantren, maka posisi ulama pada pesantren tersebut sangat urgen, sehingga semua kebijakan dan aturan yang berlaku berada di tangan ulama.

3.    Untuk meningkatkan daya saing dan mengejar ketertinggalan pola pendidikan di pesantren, agaknya pola kepemimpinan kharismatik oleh seorang ulama perlu direvisi. Untuk menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang berkualitas, di dalamnya perlu diterapkan pola kepemimpinan dan manajemen modern.

 

 

 

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

--------. Kapita Selekta Pendidikan: Islam dan Umum. Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1993.

Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000.

Bawani, Imam. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam. Cet. I; Surabaya: al-Ikhlas, 1993.

Daradjat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1997.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Cet. VI; Jakarta: LP3S, 1994.

Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Cet. II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.

Hasyim, Umar. Mencari Ulama Pewaris Nabi. Cet. II; Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983.

Madjid, Nurcholish. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1992.

Mukhtar, Maksum. Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Cet. III; Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2001.

Setiawan, B, et al. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Cet. II; Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1994.

Yasmadi. Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002.

 



[1]Nurcholish Madjid menggambarkan model pengajaran di pesantren sebagai berikut: Kyai duduk di atas kursi yang dilandasi bantal dan para santri duduk mengelilinginya. Dengan cara begini, timbul sikap hormat dan sopan oleh para santri terhadap kyai, seraya dengan tenang mendengarkan uraian-uraian yang disampaikan kyainya. Lihat Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1992), h. 22.

[2]Lihat M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan: Islam dan Umum (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1993),h. 243.

[3]Lihat Nurcholish Madjid, op. cit., h. 95-96.

[4]Lihat Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi (Cet. II; Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983), h. 14.

[5]Lihat B. Setiawan, et al., Ensiklopedi Nasional Indonesia (Cet. II; Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1994), Jilid XVII, h. 25.

[6]Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 1098.

[7]Lihat Umar Hasyim, op. cit., h. 16.

[8]Yang dimaksud dengan al-kutub al-tis’ah adalah sembilan kitab yang diakui sebagai kitab standar hadis, yaitu: Shahih al-Bukhariy, Shahih Muslim, Sunan Abiy Dawud, Sunan Ibn Majah, Sunan al-Turmudziy, Sunan al-Nasa’iy, Sunan al-Darimiy, Musnad Ahmad ibn Hanbal, danal-Muwaththa’ Malik

[9]Lihat Umar Hasyim, loc. cit.

[10]Ketika Nabi Muhammad melakukan haji wada’ (haji penghabisan), beliau menyampaikan khutbahnya. Di antara isi khutbahnya itu, Nabi berpesan: “Aku tinggalkan kamu sekalian dua perkara, barangsiapa yang berpegang teguh kepada keduanya, maka ia tidak akan tersesat untuk selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah-nya”.

[11]Lihat Umar Hasyim, op. cit., h. 30.

[12]Lihat ibid., h. 135-151.

[13]Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., h. 382.

[14]Lihat M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 10.

[15]Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Cet. II; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 5.

[16]Lihat Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 28.

[17]Lihat Maksum Mukhtar, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Cet. III; Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 51-52.

[18]Liha ibid., h. 52.

[19]Lihat Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Cet. II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 138.

[20]Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Cet. VI; Jakarta: LP3S, 1994), h. 18.

[21]Lihat ibid.

[22]Lihat ibid., h. 44.

[23]Lihat Yasmadi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 63.

[24]Lihat Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam (Cet. I; Surabaya: al-Ikhlas, 1993), h. 90.

[25]Lihat Yasmadi, op. cit., h. 63-64.

[26]Lihat ibid., h. 64.

[27]Lihat Azyumardi Azra, op. cit., h. 104.

[28]Lihat Nurcholish Madjid, loc. cit.


Tags: PERAN , ULAMA
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : TULISAN

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website